Revisi UU ITE 2025: Kebebasan Berekspresi atau Bumerang?

Revisi UU ITE 2025: Kebebasan Berekspresi atau Bumerang?

Revisi UU ITE 2025: Kebebasan Berekspresi atau Bumerang?

📌 Revisi UU ITE 2025: Polemik di Dunia Digital

Tahun 2025, wacana Revisi UU ITE kembali panas. Pemerintah, DPR, aktivis, jurnalis, sampai warga net rame debat pasal-pasal yang sering dianggap menjerat kebebasan berpendapat.

UU ITE sebelumnya banyak menuai pro dan kontra. Di satu sisi jadi dasar hukum penindakan hoaks dan ujaran kebencian. Di sisi lain, sering dipakai kriminalisasi kritik — dari rakyat biasa sampai influencer bisa kena pasal karet.

Revisi UU ITE 2025 digadang-gadang bakal perjelas batasan. Misalnya, pasal pencemaran nama baik mau dipersempit definisinya. Proses mediasi juga diwajibkan sebelum laporan pidana masuk ke jalur pengadilan.


📌 Bagaimana Sikap Masyarakat Digital?

Warganet Indonesia, terutama Gen Z dan milenial, jadi kelompok paling vokal. Mereka menuntut UU ITE direvisi dengan adil. Harapannya, kritik ke pejabat atau kebijakan publik nggak lagi rawan bikin orang masuk penjara cuma karena status di medsos.

Beberapa organisasi kebebasan pers juga mendorong revisi ini supaya wartawan nggak gampang dikriminalisasi saat liput kasus sensitif. Tapi di sisi lain, ada yang khawatir revisi justru melemahkan penindakan hoaks yang selama ini merajalela.

Diskusi publik soal Revisi UU ITE 2025 jadi ramai di media sosial. Hashtag #RevisiUUTE trending, banyak diskusi terbuka digelar. Akademisi, pengacara, hingga komika bikin podcast atau video edukasi biar orang paham implikasinya.


📌 Harapan: Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Revisi UU ITE diharapkan lahirkan iklim digital lebih sehat. Bukan berarti bebas sebar fitnah seenaknya, tapi warga juga nggak takut mengkritik. Pemerintah pun didorong lebih transparan dan buka ruang dialog.

Kalau revisi ini sukses, Indonesia bakal punya payung hukum digital yang balance: kebebasan berekspresi tetap terjamin, tapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian tetap kena sanksi.

Kuncinya, implementasi. Karena sering kali UU bagus di kertas, tapi pelaksanaannya bisa bias kalau aparat penegak hukum nggak netral. Jadi, partisipasi publik penting banget ngawal proses revisi ini sampai final.