◆ Kesadaran Baru dalam Dunia Pariwisata
Dunia pariwisata memasuki fase transformatif di tahun 2025. Setelah pandemi mengubah cara manusia bepergian, kini muncul kesadaran global bahwa wisata tak boleh lagi sekadar hiburan — ia harus menjadi gerakan keberlanjutan.
Konsep wisata berkelanjutan (sustainable tourism) bukan hal baru, tapi kini menjadi prioritas nyata di seluruh dunia. Masyarakat sadar bahwa setiap perjalanan memiliki dampak: dari emisi karbon penerbangan hingga sampah plastik di pantai.
Organisasi internasional seperti UNWTO mendorong negara-negara untuk menerapkan prinsip “travel responsibly” — bepergian tanpa merusak lingkungan, menghormati budaya lokal, dan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Indonesia pun ikut bergerak. Program Tourism for Earth 2025 diluncurkan untuk mengedukasi wisatawan dan pelaku industri agar menerapkan prinsip hijau dalam setiap aspek perjalanan.
Wisata berkelanjutan bukan lagi tren, tetapi keharusan moral dan ekologis.
◆ Prinsip Utama Wisata Berkelanjutan
Ada tiga pilar utama yang menopang konsep wisata berkelanjutan: lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi lokal.
-
Lingkungan: menjaga kelestarian alam, mengurangi jejak karbon, serta menggunakan sumber daya secara efisien.
-
Sosial-budaya: menghormati nilai dan tradisi masyarakat lokal, serta melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan.
-
Ekonomi: memastikan pariwisata memberikan manfaat langsung bagi warga setempat tanpa eksploitasi berlebihan.
Tiga pilar ini saling terkait. Sebuah destinasi tidak bisa disebut “berkelanjutan” jika hanya fokus pada satu aspek. Misalnya, resort mewah yang ramah lingkungan tapi menyingkirkan penduduk lokal tetap tidak memenuhi prinsip sustainability sejati.
Di Indonesia, beberapa desa wisata seperti Penglipuran (Bali), Nglanggeran (Yogyakarta), dan Wae Rebo (Flores) menjadi contoh nyata bagaimana prinsip ini diterapkan. Mereka menjaga keseimbangan antara pariwisata, budaya, dan kelestarian alam.
◆ Teknologi Hijau dan Digitalisasi Wisata
Tahun 2025 juga menandai munculnya ekowisata digital. Teknologi kini menjadi sekutu utama dalam menjaga keberlanjutan pariwisata.
Sensor IoT digunakan untuk memantau jumlah pengunjung di destinasi agar tidak melebihi kapasitas ekologis. Aplikasi berbasis AI membantu wisatawan menemukan rute ramah lingkungan, transportasi listrik, dan penginapan bersertifikat hijau.
Hotel-hotel mulai menerapkan sistem otomatisasi energi — lampu, pendingin, dan air dikontrol sensor agar efisien. Beberapa bahkan mengembangkan green app untuk melacak jejak karbon pengunjung dan memberi imbalan berupa poin penghijauan.
Digitalisasi juga mempermudah promosi destinasi berkelanjutan. Platform daring menampilkan rating “eco-friendly” untuk membantu wisatawan memilih dengan bijak.
Dengan cara ini, teknologi bukan musuh alam, melainkan alat untuk memperkuat kesadaran ekologis global.
◆ Peran Masyarakat Lokal sebagai Penggerak
Salah satu ciri khas wisata berkelanjutan adalah partisipasi aktif masyarakat lokal. Mereka bukan hanya objek, tetapi subjek utama dalam rantai pariwisata.
Program Community-Based Tourism (CBT) kini diterapkan di banyak daerah. Masyarakat dilibatkan dalam manajemen destinasi, mulai dari pemanduan wisata, penyediaan homestay, hingga produksi cendera mata.
Model ini menciptakan rasa memiliki terhadap destinasi. Ketika penduduk lokal merasakan manfaat ekonomi, mereka otomatis terdorong menjaga kelestarian alam dan budaya.
Contohnya di Desa Senaru (Lombok), penduduk bekerja sama menjaga jalur pendakian Rinjani tetap bersih dengan sistem tiket berbasis komunitas. Di Raja Ampat, nelayan tradisional menjadi penjaga ekosistem laut sekaligus pemandu snorkeling.
Inilah esensi sejati wisata berkelanjutan: keseimbangan antara manusia, budaya, dan alam.
◆ Tren Global: Dari Eco-Resort hingga Slow Travel
Pariwisata dunia kini bergerak menuju arah yang lebih etis dan tenang. Dua tren besar mendominasi tahun 2025: eco-resort dan slow travel.
-
Eco-resort: penginapan ramah lingkungan yang dibangun dengan bahan lokal, memanfaatkan energi terbarukan, dan menerapkan sistem daur ulang. Resort seperti Soneva di Maladewa dan Capella Ubud di Bali menjadi contoh sukses perpaduan kemewahan dan kesadaran lingkungan.
-
Slow travel: gerakan melawan pariwisata instan. Wisatawan didorong untuk tinggal lebih lama, mengenal budaya lokal, dan mengurangi mobilitas berlebihan.
Keduanya merefleksikan perubahan mentalitas wisatawan global. Mereka tidak lagi mengejar jumlah destinasi, tapi kualitas pengalaman.
Traveling kini lebih personal dan bermakna — bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi seberapa dalam kita terhubung dengan tempat yang kita kunjungi.
◆ Pariwisata dan Isu Lingkungan Global
Wisata berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari tantangan perubahan iklim. Industri pariwisata menyumbang sekitar 8% emisi karbon global, terutama dari transportasi udara.
Karena itu, banyak negara mulai menerapkan carbon offset program, di mana wisatawan dapat menebus emisi perjalanannya dengan mendanai proyek penghijauan. Maskapai penerbangan juga beralih ke bahan bakar biofuel yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, ancaman seperti kerusakan terumbu karang, pencemaran laut, dan hilangnya habitat satwa menjadi fokus utama gerakan pariwisata hijau. Organisasi global dan komunitas lokal kini bekerja sama memantau kondisi ekosistem wisata alam melalui data digital.
Indonesia termasuk negara yang aktif dalam inisiatif ini. Program “Blue Carbon Indonesia” dan “Mangrove for Future” menjadi langkah nyata untuk melindungi wilayah pesisir yang menjadi daya tarik wisata utama.
◆ Peran Pemerintah dan Kebijakan Publik
Keberhasilan wisata berkelanjutan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Tahun 2025 menjadi masa di mana banyak negara memperbarui regulasi pariwisata berbasis prinsip hijau.
Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah meluncurkan peta jalan Sustainable Tourism Development 2025. Fokusnya adalah pengelolaan sampah di destinasi, transportasi rendah emisi, dan penguatan desa wisata.
Selain itu, sertifikasi Green Destination mulai diterapkan untuk menilai sejauh mana daerah wisata memenuhi standar keberlanjutan. Program ini memberi insentif bagi pengelola yang berhasil menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.
Kolaborasi lintas sektor — pemerintah, akademisi, komunitas, dan swasta — menjadi fondasi utama. Dengan kebijakan yang tepat, pariwisata bisa tumbuh tanpa merusak, memberi manfaat tanpa mengorbankan masa depan.
◆ Edukasi Wisatawan dan Perubahan Perilaku
Transformasi terbesar dalam wisata berkelanjutan datang dari perubahan perilaku wisatawan. Kesadaran ini lahir dari edukasi yang konsisten melalui media, sekolah, dan komunitas.
Kampanye global seperti “Travel Better” dan “Leave No Trace” mengajarkan wisatawan untuk bertanggung jawab atas jejak ekologis mereka. Di Indonesia, kampanye “Liburan Tanpa Sampah” mulai populer di kalangan traveler muda.
Banyak agen perjalanan kini menawarkan eco-tour package — tur edukatif di mana peserta belajar tentang konservasi alam dan budaya lokal. Wisata bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sarana belajar tentang kehidupan dan keberlanjutan.
Kesadaran generasi muda inilah yang akan menjadi penentu arah masa depan industri pariwisata dunia.
◆ Penutup: Menyongsong Masa Depan Hijau Pariwisata
Wisata berkelanjutan 2025 menandai perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dengan bumi. Dunia mulai sadar bahwa perjalanan bukan tentang pelarian, tetapi tentang tanggung jawab dan koneksi.
Dengan teknologi hijau, kolaborasi global, dan partisipasi masyarakat lokal, pariwisata masa depan bisa tumbuh tanpa menghancurkan alam.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin pariwisata berkelanjutan di Asia, asalkan semua pihak — wisatawan, pemerintah, dan industri — berjalan seirama menjaga bumi.
Karena pada akhirnya, bumi bukanlah tempat yang kita warisi dari generasi sebelumnya, melainkan titipan yang harus kita jaga untuk generasi berikutnya.
Referensi:
-
Wikipedia – Environmental impact of tourism